Sabtu, 29 Juni 2013



Kata sahibul hikayat, di jaman dulu bila di suatu negri atau kampung ada seseorang mendadak kaya raya, tak pelak lagi pecah berita mengatakan bahwa orang itu kayanya karena Palasik. Barangkali saja orang itu mendapat harta karun atau bak kata orang sekarang objeknya meledak, tetap saja tidak dipercaya. Orang banyak mengatakan bahwa Palasiklah yang menjadikannya kaya raya. Beroleh harta warisan tidak mungkin, karena warisan di Minangkabau milik bersama. Demikian juga seorang bocah berusia di bawah tiga tahun jatuh sakit. Bila jangatnya terlihat mengeriput, badannya kian hari bertambah kurus, suhu badannya meninggi, matanya senantiasa bercirit, kalau menangis seperti berhiba-hiba, tak salah lagi Palasiklah yang menjadi biangkeladinya.vOrang Minangkabau dahulu mengenal dua macam bangsa Palasik, yakni Palasik bangkai dan Palasik kudung .

Palasik Bangkai
Sebenarnya Palasik itu manusia biasa seperti kita-kita juga, hanya saja mereka berperangai aneh lagi mengerikan, yaitu gemar memakan daging dan tulang orang mati yang sudah dikubur. Kata orang, jika seseorang yang berperangai Palasik bertemu dengan seorang anak berusia di bawah tiga tahun walau di gendong ibunya sekalipun, bila digodanya seperti biasanya seseorang menggoda anak kecil atau ditatapnya saja dengan batinnya, maka sehari atau dua hari kemudian sakitlah anak itu. Ia demam berkepanjangan, suhu badannya meninggi, badannya menjadi kurus, kulitnya mengeriput, matanya selalu bercirit, bila menangis seperti berhiba-hiba, jika tidak segera kepintasan obat, dipastikan anak itu akan meninggal dunia. Andaikata anak itu meninggal, kuburnya harus dijaga oleh karibnya teristimewa di malam hari. Bilamana tidak, jenazah yang sudah dipendam dalam tanah itu akan dicuri oleh Palasik. Dilecutnya kubur anak itu tujuh kali dengan tujuh helai lidi gila. Seketika muncullah seekor kelelawar dari dalam kubur itu, lalu menjelma menjadi anak kecil seperti tatkala ia hidup dan tertawa riang seperti masa dahulu juga. Segera di gendongnya bangkai hidup itu dan dibawa pulang kerumahnya. Namun sebelumnya dimandikan bersih terlebih dahulu di pincuran, setelah itu barulah disembelihnya. Sebagian daging sembelihan dibagikan kepada bangsanya sesama Palasik. Bahkan diantarkan jauh sampai sehari perjalanan, meski agak seiris sekalipun. Daging bangkai bagiannya digulai, sisanya dibalur dan rangka mayat itu dikeringkan. Bila sang Palasik ketagihan, tulang mayat itu di asah dan di sedu dengan air minumnya. Atau tulang itu di rendam dengan air panas, lalu diminum, maka lepaslah tagirnya dan ia menjadi segar kembali. Kata orang, Palasik itu bila tidak memakan daging bangkai anak manusia dalam setahun, badannya menjadi kurus, mukanya pucat seperti tidak bertenaga. Konon kabarnya bila sang Palasik bersobok atau ditangkap orang tatkala sedang melarikan bangkai hidup yang dicuri di kuburan itu, maka orang yang menangkap tersebut menjadi kaya-raya. Berapa saja uang yang diminta di penuhinya, sebab bangsa Palasik amat takut rahasia mereka terbongkar. Bila harta sang Palasik itu tidak mencukupi, ia meminta bantuan teman-temannya bangsa Palasik juga. Mereka itu erat setianya, buatannya teguh, berat sama di pikul ringan sama di jinjing, suarang diberikan, sekutu belah, mendapat sama berlaba, kehilangan sama merugi, demikianlah selama-lamanya. Karena itulah Palasik-Palasik lain segera membantu temannya yang sedang dilanda kesulitan tersebut. Itulah sebabnya bila disebuah negri atau desa ada seseorang yang mendadak kaya-raya, tak  pelak lagi dikatakan bahwa harta yang diperolehnya itu berasal dari Palasik.

Sungguhpun kuburan anak yang baru meninggal itu dijaga siang-malam oleh karibnya, sang Palasik senantiasa berupaya mengambil mayat yang menjadi incarannya itu. Biasanya Palasik beroperasi dari tengah malam hingga kokok ayam di pagi buta, yakni tatkala orang dalam kampung tertidur pulas. Adapun tanda-tanda datangnya Palasik hendak mengambil mayat idamannya itu, mulanya ditandai banyaknya agas (sejenis nyamuk) di atas kuburan tersebut, kemudian datang pula kumbang cirit. Bila yang menjaga kubur itu terkantuk-kantuk, ia akan dirahap kumbang cirit tersebut dan segera tertidur pulas. Demikian pula lampu damar yang menyala di atas kuburan dilandanya sehingga padam. Tidak lama setelah itu terdengar suara lolongan anjing. Benar saja, seketika muncul seekor anjing putih seolah menyeruak di kegelapan malam, barulah sesudah itu muncul sang Palasik.
Kata orang badannya besar sebesar gajah, daun telinga lebar selebar nyiru dan wajahnya hitam menakutkan. Maka dikeluarkannya mayat anak yang baru dikubur itu dengan lidi keramatnya dan segera dibawa pulang ke rumah untuk disembelih. Apabila seseorang yang diduga berperangai Palasik datang ke rumah seorang ibu yang mempunyai anak kecil, maka si empunya rumah atau yang lainnya segera mengunyah pinangsinawal, lalu disemburkan kepada tamu yang tidak diundang itu. Kalau benar seorang Palasik, ketika itu juga jatuhlah ia terguling. Bercucuran keringatnya dan dari mulutnya keluar air liur  berbusa, tak obahnya seperti orang diserang penyakit ayan. Namun yang umum dilakukan orang, ialah membuat sebungkus obat penangkal yang diletakkan di dalam baju atau selimut anak yang dilindungi itu. Adapun isi bungkusan tersebut ialah obat penyembur seperti lada kecil (merica hitam), dasun (bawang putih tunggal), pinang sinawal, buah pala, cengkeh dan kunyit. Dengan demikian Palasik tidak akan berani mendekat, apalagi mengusik anak yang telah diberi penangkal tersebut.

Palasik Kudung
Berlainan dengan Palasik bangkai, Palasik kudung yang juga dinamakan panangga (penanggal), mempunyai kepintaran menanggalkan kepalanya sendiri dari batang tubuhnya. Kepala yang melepas itulah yang menggelinding kian kemari mencari mangsa. Sedangkan tubuh dan kedua tangannya ditinggalkan di rumah. Ada pula dikatakan orang, Palasik kudung itu dapat melepaskan kepala berikut sebelah tangannya. Dengan tangan yang melepas itulah, ia mengayuh cepat menyeret kepala yang tanggal itu menuju sasaran. Bila telah terpenuhi keinginannya, maka pulanglah ia ke rumah dan bertaut kembali dengan batang tubuh yang ditinggalkan tadi. Apabila di kampung itu ada orang meninggal dunia, apakah ia seorang bayi ataupun dewasa, maka datanglah Palasik kudung itu ke rumah orang kematian tsb. Dengan cepat ia melesat kekolong rumah orang mati itu. Air bekas memandikan mayat yang dibuang ke kolong rumah, dijilatnya dengan rakus, sementara itu matanya melirik ke kiri dan ke kanan, takut ketahuan orang lain.

Andaikata ketahuan, larilah ia. Walau dikejar dengan anjing sekalipun, tidak mungkin terkejar karena kencang larinya. Dibacok dengan golok atau kelewang, tidak mempan, karena ia kebal sekali. Kadang-kadang malam hari Palasik kudung masuk ke rumah orang mencari gulai ikan. Bila sedang melahap santapan lezat itu ketahuan oleh yang punya rumah, larilah ia meloloskan diri. Karena mustahil dapat dikejar, dibiarkan saja. Ada pula cerita mengatakan, bila sang Palasik sedang asyik mengudap gulai kesukaannya, disungkup dengan lakar periuk, maka ia tidak dapat melawan atau mengeras lagi. Ia diam saja di bawah lakar menunggu kesempatan meloloskan diri. Tetapi cara menyungkup seperti itu amat jarang terjadi, karena sang Palasik sangat awas. Palasik kudung ini tidak seperti Palasik bangkai yang mampu mencabut mayat dari dalam kubur. Walau demikian, Palasik kudung ini datang juga ke kuburan di malam hari. Di sana ia menjilat-jilat dan mencepak-cepak. Demikian keras cepaknya, hingga terdengar bagai berlapak-lapak. Karena itu bila ada orang mencepak-cepak seperti demikian, yaitu tidak seperti biasanya orang mencepak, tak pelak lagi dicurigai Palasik. Seperti dikatakan di atas, Palasik itu ialah manusia biasa seperti kita-kita juga. Dalam pergaulan sehari-hari mustahil dapat dibedakan mana yang Palasik dan mana pula yang bukan. Orang berperangai Palasik itu tidak hilang bangsa dalam adat. Sebab mereka turunan yang jelas asal usulnya dan bukan berasal dari bangsa budak. Dalam jamuan yang terkembang atau medanyang sekata, mereka dapat setanding duduk. Demikian juga mereka makan dapat sejambar (makan bersama satu talam atau piring besar) dengan orang lain yang tidak berperangai Palasik. Kalau ia seorang penghulu, duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan penghulu lain dinagarinya. Hanya saja yang dikhawatirkan orang, ialah kalau-kalau terambil menjadi
urang sumando (menantu laki-laki). Bila hal semacam itu terjadi, bisa celaka tiga belas. Sebab anak-cucu kaum tersebut akan berperangai Palasik pula seperti bapaknya. Menurut kecek orang, ilmu Palasik turun dari ayah kepada anak – anaknya. Seorang laki-laki yang Palasik kawin dengan seorang perempuan biasa (tidak Palasik), maka anak-anak mereka kelak akan menjadi Palasik pula, tetapi ilmu Palasik mereka belum keras seperti bapaknya. Mereka belum pandai mengeluarkan mayat dari dalam kubur. Ilmunya hanya sekedar menghisap semangat anak-anak saja.

Umpamanya bila bertemu seorang anak, maka dihisapnya semangat anak itu dengan ilmunya. Lalu sehari atau dua hari kemudian anak itu jatuh sakit. Sebaliknya, bila seorang ibu yang berperangai Palasik kawin dengan seorang lelaki yang tidak  Palasik, anak-anak mereka tidak Palasik lagi. Ada pula cerita mengatakan, bila seorang isterinya mengetahui suaminya seorang Palasik kudung, pergilah ia meminta pertolongan dukun. Oleh sang dukun diberi sekerat sagar untuk ditancapkan pada leher batang tubuh yang ditinggalkan itu. Jadi apabila sang Palasik kembali dari petualangannya dan bertaut lagi dengan tubuh yang ditinggalkan tadi, ia bertingkah seperti orang ketulangan. Kepalanya selalu digerak-gerakkan seperti orang yang kerongkongannya tertusuk tulang ikan.

mediametafisika.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar